Jumat, 15 Juli 2016

MENDENGARKAN SUARA RAKYAT MELALUI SURAT KABAR


Masyarakat Indonesia berorientasi lisan. Tidak mengherankan bahwa sejak dulu juga setelah Indonesia merdeka, masyarakat kita lebih gemar berbicara dari pada mendengarkan. Pepatah lama mengatakan, fakta bahwa kita mempunyai dua telinga dan satu mulut mengisyaratkan bahwa seharusnya kita lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara. Para pegawai negeri hapal betul bahwa dalam setiap upacara, khususnya tanggal 17 mayoritas peserta upacara berbicara ketika pembina upacara memberikan sambutan. Kegemaran berbicara juga terlihat dalam seminar. Meskipun moderator mengingatkan sebelumnya agar penanya berbicara singkat dan padat, penanya sering menjadi pembicara tandingan dan mengkuliahi hadirin. Kalaupun penanya mendengarkan, itu ia lakukan untuk menghantam pembicara. Berbagai kajian menunjukan bahwa ketidakmampuan mendengarkan ini berisiko, berbahaya, dan terkadang menimbulkan akibat yang fatal. Terutama dalam dunia ekonomi dan politik. Karena itu, bukan tidak mungkin krisis ekonomi dan politik di Indonesia belakangan ini juga disebabkan ketidakmampuan para pemimpinnya untuk mendengarkan oranglain, khususnya rakyat. Menyongsong Indonesia baru yang kita harapkan lebih makmur, kita perlu mengubah gaya komunikasi kita dari lebih banyak berbicara menjadi lebih banyak mendengarkan. Para pemimpin kita di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif perlu memupuk sikap baru ini dalam komunikasi mereka, baik dengan sesama elite politik, atau pun dengan rakyat. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan kebiasaan mendengarkan ini sebagai unsur budaya baru masyarakat Indonesia. Maklum, kita sudah terbiasa melakukan komunikasi bersifat top-down berupa pemberian nasihat, petunjuk, wejangan, arahan, dan sebagainya. Yang kita warisi dari nenek moyang kita yang feodal dan paternalistik.
Mendengarkan (listening) berbeda dari mendengar (hearing). Yang pertama bersifat aktif, sedangkan yang kedua bersifat pasif. Proses mendengar terjadi ketika gelombang bunyi menggetarkan gendang telinga dan otak menangkap getaran atau bunyi tersebut. Sedangkan mendengarkan terjadi ketika impuls yang dikirimkan ke otak ditafsirkan dan dipahami (Abrams, 1986:76). Dalam ilmu komunikasi, mendengarkan adalah mekanisme perolehan umpan balik yang berguna bagi komunikator untuk mengetahui apakah komunikasinya berjalan baik, sesuai dengan harapan khalayak. Berbagai simulasi (misalnya menggambar suatu benda yang telah ada contohnya atau menyusun berbagai potongan gambar atau balok) dalam pelatihan komunikasi menunjukan bahwa suatu tujuan (menggambarkan atau menyusun gambar/balok dengan benar) akan terlaksana lebih cermat dan lebih cepat bila komunikator (yang menggambar atau menyusun gambar/balok) memperoleh umpan balik dari pihak lain yang mengetahui situasi (gambar atau susunan gambar/balok), dibandingkan dengan komunikator yang tidak menerima umpan balik sama sekali. Ini berarti bahwa para pengambil keputusan, baik di lembaga legislatif atau eksekutif akan cermat dan lebih cepat melaksanakan program mereka bila mereka juga menerima umpan balik dari pihak lain, khususnya rakyat yang berkepentingan. Stephen Covey, dalam buku larisnya The 7 Habits of Highly Effective People (1990) menganggap mendengarkan sebagai satu dari tujuh kebiasaan orang-orang yang sangat efektif. Ia menyarankan : “Berusahalah memahami, yang meliputi perubahan paradigma yang mendalam. Kita mulai dengan mencoba memahami. Kebanyakan orang mendengarkan tidak dengan maksud memahami, mereka mendengarkan dengan tujuan memberikan jawaban. Mendengarkan dengan empati saya maksudkan sebagai mendengarkan untuk memahami. Saya maksudkan berusahalah dulu memahami, benar-benar memahami”. Empati itulah kata kuncinya, kata empati berasal dari kata einfuhlung yang digunakan oleh psikolog Jerman yang berarti “merasa terlibat”. Bennet (1996:78) mengartikan empati sebagai kemampuan membayangkan pikiran dan perasan orang lain dari perspektif mereka sendiri. Mendengarkan dengan penuh empati meningkatkan harga diri orang lain. Pakar komunikasi Susan Peterson menjelaskan : “Kita berkonsentrasi pada seni berbicara, bukan mendengarkan. Namun dalam pandangan saya, mendengarkan yang baik adalah 80 hingga 90% dari manajer yang baik dan pemimpin yang efektif.”  Dapat kita lihat dari fenomena-fenomena yang telah terjadi di kalangan pemerintahan Indonesia pada masa kepemimpinan Jokowi saat ini  bahwasannya Jokowi Kurang libatkan rakyat dalam APBN. Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Dadang Trisasongko menilai, Presiden Jokowi kurang melibatkan rakyat dalam perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, hal itulah yang menjadi kelemahan dalam pengelolaan anggaran di tingkat pusat saat ini.  Padahal, pelibatan publik penting untuk mencegah korupsi, publik juga berperan untuk memastikan APBN sesuai dengan kebutuhan rakyat. Dan yang terjadi saat ini pemeritah baru transparan soal anggaran ketika sudah disahkan dalam bentuk APBN. Pemerintah sebenarnya memiliki mekanisme penjaringan aspirasi rakyat dalam perumusan anggaran meski mekanisme itu belum dijalankan dengan baik. Karena itu pelibatan publik dalam perumusan anggaran diperkuat. Pemerintah pusat sampai pejabat desa harus menggali keinginan rakyat yang selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk anggaran. Kemudian kita lihat di fenomena lain menurut pandangan rakyat bahwa Pemerintah saat ini memang harus memperbaiki Regulasi BPJS. Menurutnya, masih banyak yang harus diperbaiki. BPJS kesehatan, utamanya masalah regulasi. Konsep pembagian alokasi anggaran yang disalurkan BPJS ke rumah sakit yang menjadi anggota BPJS kesehatan serta distribusi obat-obatan dan peralatan rumah sakit masih belum merata. Termasuk ke puskesmas-puskesmas di daerah. Dalam dua tahun ini program BPJS kesehatan telah mengalami lonjakan yang sangat besar. Tak heran, lonjakan tersebut terkadang membuat pasien terlantar akibat pelayanan yang tak memadai. Rumah sakit tipe A mendapatkan anggaran dari BPJS Kesehatan sekitar Rp.80 miliar per bulan. Sedangkan, rumah sakit tipe D rata-rata mendapatkan anggaran Rp.20 miliar perbulan. Apakah dana ini sudah terdistribusi dengan baik kepada pelaku tenaga kesehatan, kepada fasilitas, alat kesehatannya, dan seterusnya. Dan ini memang belum jelas. Adapun keadaan di daerah malah lebih miris lagi, banyak sekali rumah sakit non Badan Layanan Umum yang bisa langsung tersalur kepada tenaga kesehatan, namun harus memutar dulu melalui APBD. Pada APBD, uang tersebut bisa didiamkan sekitar enam hingga delapan bulan.  Baru setelah sah, uang tersebut diturunkan kembali kerumah sakit. Itu sebabnya banyak tenaga medis dan rumah sakit yang menolak pasien.   Kemudian dalam fenomena dunia politik yang telah terjadi, ketidakmampuan mendengarkan orang lain dapat menimbulkan risiko yang lebih fatal lagi. Jatuhnya Soekarno dan Soeharto dari kepresidenan mereka antara lain disebabkan mereka tidak mau mendengarkan pihak lain. Keduanya merasa bahwa kata-kata mereka adalah sabda yang tidak boleh dibantah, dikritik, atau ditolak siapapun, padahal mereka adalah manusia biasa seperti kita yang tidak luput dari kekhilafan, baik dalam pikiran, perasaan, ataupun tindakan. Bung Karno misalnya menolak gagasan Sayuti Melik yang anti PKI dan malah memilih gagasan PKI. Soekarno juga meremehkan pendapat Soeharto yang menganggap PKI berbahaya, dan malah seperti marah dan berkeras untuk memasukan PKI ke dalam Pancasila. Antara Oktober 1965 dan 11 Maret 1966 Soeharto berjumpa dengan Soekarno lebih dari 10 kali dan menyarankan kepadanya untuk membubarkan PKI, namun Soekarno menjawab:”kalau PKI dibubarkan, akan hilang muka saya sebagai pimpinan dunia.” (Adam, 1999). Soekarno tetap tidak bersedia membubarkan PKI sampai akhir hayatnya. Maka terjadilah pembantaian ratusan ribu manusia yang dianggap komunis itu. Adapun Soeharto, ia memang lebih sering mendengarkan para menteri, anggota DPR/MPR dan pihak lainnya, dari pada Soekarno, tetapi yang ia dengarkan ialah umpan balik yang menyesatkan. Artinya, ia sebenarnya gagal mendengarkan pihak lain dalam pengertian yang benar. Soeharto hanya “mendengar”, tetapi tidak “mendengarkan”. Kalau saja soeharto mendengarkan para ahli pertanian yang menyarankan agar proyek lahan gambut sejuta hektar dibatalkan, betapa banyak dana yang bisa diselamatkan. Kalau saja dulu ia mendengarkan orang lain dan hati nuraninya sendiri untuk tidak memperkaya keluarga, untuk menolak pencalonannya sebagai presiden setelah dua periode atau enam periode kepresidennya (tahun 1997), drama tentang Indonesia tentunya: alih-alih terbuang dan dihujat rakyat, soeharto akan menjadi negarawan besar dan terhormat yang dikenang sepanjang masa.
Meyongsong Indonesia baru, para pemimpin kita harus mempunyai persepsi sosial yang akurat dalam menjalankan tugas mereka. Persepsi sosial adalah proses yang dengan itu kita mencoba menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita. tanpa persepsi yang akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi secara efektif. Persepsi sosial akurat yang dimiliki para pemimpin mengisyaratkan kemampuan mereka untuk melihat permasalahan dan aspirasi masyarakat dan mengevaluasinya secara jelas dan tepat. Persepsi ini hanya bisa mereka peroleh bila mereka “turun gunung” untuk mendengarkan suara rakyat secara langsung dan berdialog dengan mereka. Tidak hanya menerima pesan-pesan masyarakat lewat pihak lain, terutama bawahan yang cenderung bersikap ABS (umpan balik yang menyesatkan). Dilaog tidak harus diadakan resmi dan seremonial, seperti yang dilakukan wail-wakil rakyat selama ini dalam kunjungan komisi-komisinya ke berbagai daerah, tetapi dapat juga dilakukan secara santai di balai desa, warung kopi, bis kota, dan tempat lain dimana rakyat berkumpul. Pengenalan masalah, merupakan setengah dari keberhasilan penyelesaian masalah tersebut. Dengan persepsi sosialnya yang akurat itu, para pemimpin rakyat tidak hanya menampung masalah-masalah, baik itu mengenai masalah seorang Pemimpin yang kurang melibatkan rakyat dalam  APBN, masalah regulasi BPJS yang dengan kondisi seperti itu maka pemerintah harus mengkaji ulang dan mengevaluasi Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas peraturan presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan ,ataupun  masalah dalam dunia politik,  tetapi juga pemimpin harus aktif menyelesaikan masalah-masalah tersebut, antara lain dengan merancang undang-undang, dan melakukan tindakan-tindakan konkret demi kesejahteraan rakyat.

















DATA PRIBADI


_







Nama : Ajeng Sri Utami
Nim : 1148010024
TTL : Sukabumi, 7 Mei 1996
Pendidikan : Mahasiswi Administrasi  Negara Fakultas Ilmu Sosial  dan Ilmu Politik Universitas  Islam Negeri Sunan Gunung  Djati Bandung.
Referensi :
Mulyana, Deddy. 2005.Nuansa-nuansa Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar