Jumat, 15 Juli 2016

ABU JA’FAR AL-MANSHUR

ABU JA’FAR AL-MANSHUR
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Administrasi Islam
Dosen Pengampu : Drs. Ahmad Syamsir, M.Ag

_










Disusun oleh:
22. Ajeng Sri Utami
Jurusan Administrasi Negara Kelas A / 2014


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016





BAB I
PENDAHULUAN

Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaiman disebutkan melanjutakan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai denga perubahan politik, sosial, dan budaya.
Pada pertama pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Seraca politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisilain, kemakmuran masyarakat mencaapi tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. (Badri Yatim 2003:49-50).
Dari beberapa khalifah yang memerintah, terdapat tiga tokoh kunci (utama) yang berhasil menjadi legenda dunia ilmu pengetahuan pada dinasti Abbasiyah. Ketiga tokoh tersebut adalah Khalifah al-Mansur, harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun. Ketiganya menggelorakan semangat para penuntut ilmu untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan dengan dukungan sarana dan prasarana yang sangat memadai. Karena, banyak sarjana dari berbagai belahan dunia, menuntut ilmu pada masa pemerintahan ketiga tokoh ini. Dalam makalah ini akan dibahas salah satu dari ketiga tokoh tersebut yaitu Khalifah al-Mansur. (Fatah Syukur, 2012:73).





BAB II
PEMBAHASAN


Riwayat hidup Al-Mansur
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur (712-775 M) adalah khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman kelurga abbasiyah setelah bermigrasi dari Hijaz pada tahun 687-688. Ayahnya bernama Muhammad, cicit dari Abbas. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar.(Fatah Syukur, 2012:73-74)
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abu Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abu Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah.
Abu Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dlaam sejarah pertama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah. Abu Abbas Al-Saffah meninggal tahun 754 M. Dan digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far Al-Mansur dari tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abassiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan Al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri. Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh penulis sejarah sebagai seorang politikus yang demokratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah, sedrhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, tidakah mengherankan bahwa selama kurang lebih 20  tahun kekuasannya, ia tidak berhasil meletakan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu. (Ajid Thohir, 2009:49).

Keadaan pemerintahan pada masa khalifah Al-Mansur pada dinasti Abbasiyah
Khalifah al Manshur adalah Khalifah ke 2 Dinasti Abbasiyyah sekaligus peletak dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyyah. Ketika awal Khalifah al Manshur berkuasa Daulah Bani Abbasiyyah masih dalam masa transisi dari kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, namun berkat strategi kepemimpinan ataupun pola pemerintahannya yang tergolong radikal Ia mampu melewati masa transisi dengan gemilang dimulai ketika Abu Ja'far al Manshur mengangkat dirinya menjadi Khalifah bergelar al Manshur. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al- Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas dan negara yang baru berdiri itu al Mansur memindahakan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad bekas ibu kota Persia. Baghdad terletak di pinggir kota Tigris.  Khalifah al Manshur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Dengan mengerahkan ratusan peneliti yang akhirnya memutuskan untuk membangun kota Baghdad mengerahkan lebih dari 100 ribu ahli bangunan terdiri dari arsitektur,tenaga bangunan dan lainnya. Kerja keras tim ahli bangunan dengan dana 3.88 juta Dirham dikerjakan selama 4 tahun berhasil secara gemilang membangun kota Baghdad yang unik nan megah kemudian kota Baghdad dijuluki Madinat as Salam atau kota perdamaian. Kota Baghdad juga sebagai pusat intelektual terdapat beberapa aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu, dan juga pusat penerjemah buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab.(Samsul Munir Amin, 2009:147).
Kota Baghdad memang indah memukau bagaimana tidak kota Baghdad yang dibangun selama 4 tahun yang didesain oleh Nowbakht, persia dan Mashallah dari Iran itu berbentuk bundar hingga dijuluki kota Bundar terinspirasi kota Firouyabad di Persia kemudian kota Baghdad d ikelilingi 3 tembok benteng dan dilengkapi Istana Khalifah yang megah bernama al Qasr Az Zahabi atau istana keindahan, masjid Jami' al Manshur, pasar, alun-alun, parit ,kanal sebagai saluran air sekaligus benteng pertahanan membuat kota Baghdad menjadi kota peradapan Islam ketika itu.
Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolakpolitik dan pemberontakan-pemberontakan.
Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya. Kelompok pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali, paman Abu Ja'far sendiri. Ia menjabat panglima perang Bani Abbasiyah. Kegagahan dan keberaniannya dikenal luas. Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta sangat berambisi menjadi khalifah.
Kelompok kedua dipimpin Abu Muslim Al-Khurasani, orang yang berjasa besar dalam membantu pendirian Dinasti Abbasiyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya, ia sangat disegani serta dihormati di kalangan Bani Abbasiyah. Masyarakat luas banyak yang menjadi pengikutnya. Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur khawatir pengaruh Abu Muslim terlalu besar terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah.
Kelompok ketiga adalah kalangan Syiah yang dipimpin pendukung berat keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan mereka membawa nama-nama keluarga Nabi Muhammad Saw.
Setelah berhasil mengantisipasi kelompok-kelompok yang dapat menjadi batu sandungan pemerintahannya, pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja'far al Manshur adalah mengatur politik dengan segala siasat pemerintahan Bani Abbasiyyah sehingga terjalin kerjasama erat pemerintah pusat dan daerah atau kepala-kepala dinas lainnnya kemudian membuat stabilitas politik dalam negeri terkendali tanpa gejolak dan pemberontakan-pemberontakan. Perjalanan hidup Abu Ja'far al Manshur tak kalah menarik saat mengangkat Abu Hanifah sebagai Hakim Tinggi atau Qadhi Qudha ,namun sang Abu Hanifah menolak keras bahkan disertai ancaman agar Ia memegang jabatan itu.
Ketika mendapat ancaman tersebut Abu Hanifah menjawab seandai anda mengancam untuk membenamkanku ke dalam sungai Eufarat atau memegang jabatan itu sungguh aku akan memilih untuk dibenamkannya dan mendengar sikap Abu Hanifah yang menolak keras tawaran jabatan sebagai Qadhi Qudha membuat Khalifah Abu Ja'far al Manshur amat murka apalagi mendengar Abu Hanifah terlibat dalam gerakan akhirnya sang Imam dipenjara sampai meninggal.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha-usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.

Perubahan-perubahan yang dilakukan khalifah al-Mansur pada dinasti Abbasiyah
Perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:
Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan, Al-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara.
Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Perkembangan Politik, Ekonomi, dan Administrasi
Sejarah telah mengukir pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada di pucak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M). Pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa pada periode pertama, perkembangan di bidang masih menunjukan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad;
Memusnahkan  keturunan Bani Umayyah;
Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali;
Menumpas pemberontakan-pemberontakan;
Menghapus politik kasta.
Selain kebijkan-kebijakan diatas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politknya adalah:
Para khalifah tetap ari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali;
Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibukota negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan;
Kebebasann berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai menurun dan terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena negara-negara bagian sudah tidak begitu memperdulikan lagi pemerintahan pusat, kecuali pengakuan secara politis saja.
Dalam masa permulaan pemerintah Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukn angka vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan negara.
Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia pada saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak khalifah Al-Mansur.
Dalam bidang adminsitrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah, hanya saja pada masa ini telah menegalami kemajuan-kemajuan, perbaikan, dan penyempurnaan.
Secara umum, menurut Philip K.Hitti, kendali pemerintah dipegang oleh khalifah sendiri. Smeentara itu, dalam operasionalnya yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi (hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir. (Ajid Thohir,2009:53-55).
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa Dinasti Abbasiyah (terutama saat dipimpin oleh para khilafah awal seperti al-Mansur dan beberapa khilafah setelah beliau adalah merupakan periode kecemerlangan peradaban islam. Hal ini disebabkan karena beliau sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Ia memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bemakna.
Oleh sebab itu, dalam konteks inilah kita akan memahami al-Mansur seorang khilafah yang sangat memperhatikan ilmu agama dan dunia secara seimbang. Sangat tidak mengherankan jika al-Mansur sangat memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan agama. Karena beliau adalah salah seorang yang sangat paham ilmu agama. Suatu ketika, beliau pernah berkata kepada Imam Malik yang saat itu menjadi Imam penduduk Madinah: “Wahai Imam Malik, engkau sangat mengetahui bahwa saat ini tidak ada yang memahami ilmu agama dengan baik kecuali engkau dan aku. Engkau juga mengetahui betapa aku sibuk megurusi rakyat. Oleh sebab itu, aku sangat berharap jika engkau menulis sebuah buku yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kriteria seperti ini. “lalu Imam Malik mengomentari perkataan al-Mansur:”Sungguh beliau telah memberikan inspirasi padaku, bagaimana menulis. “ setelah Imam Malik selesai menulis buku tersebut, beliau memperhatikannya kepada al-Mansur. Saat itu, al-Mansur sangat menginginkan agar buku tersebut menjadi sumber undnag-undang negara serta digunakan di lembaga-lembaga peradilan negara. Seandainya saat itu Imm Malik tidak menolaknya, maka niscaya buku itu telah menjadi undang-undang negara.(Yusuf Qardhani,2005:123-124).


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur (712-775 M) adalah khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman kelurga abbasiyah setelah bermigrasi dari Hijaz pada tahun 687-688. Ayahnya bernama Muhammad, cicit dari Abbas. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar.
Khalifah al Manshur adalah Khalifah ke 2 Dinasti Abbasiyyah sekaligus peletak dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyyah. Ketika awal Khalifah al Manshur berkuasa Daulah Bani Abbasiyyah masih dalam masa transisi dari kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, namun berkat strategi kepemimpinan ataupun pola pemerintahannya yang tergolong radikal Ia mampu melewati masa transisi dengan gemilang dimulai ketika Abu Ja'far al Manshur mengangkat dirinya menjadi Khalifah bergelar al Manshur.
Perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:
Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia.
Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan, Al-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen.
Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara.
Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Dalam bidang adminsitrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah, hanya saja pada masa ini telah menegalami kemajuan-kemajuan, perbaikan, dan penyempurnaan.
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa Dinasti Abbasiyah (terutama saat dipimpin oleh para khilafah awal seperti al-Mansur dan beberapa khilafah setelah beliau adalah merupakan periode kecemerlangan peradaban islam. Hal ini disebabkan karena beliau sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Ia memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bemakna.

Saran
Demikian makalah yang saya sampaikan, saya menyadari makalah yang saya susun masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan guna memperbaiki makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua. Amin













DAFTAR PUSTAKA


Al- Usairy, Ahmad, Terj. Samson Rahman, 2003.  Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Amin, Syamsul Munir, 2009. Sejarah Peradaban Islam,Jakarta: Amzah.
Natsir, 1988.Kebudayaan Islam DalamPrespektiSejarah, Jakarta: PT. Girimukti Pasaka.
Qardhani,Yusuf,2009.Meluruskan Sejarah Umat Islam,Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Syukur, Fatah,2012. sejarah pendidikan islam, Semarang: Pustaka Riski Putra.
Thohir, Ajid, 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Yatim, Badri, 2003. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/25/lk6z4v-daulah-abbasiyah-abu-jafar-almanshur-754775-m-membangun-imperium   di unduh pada 14/05/2016 pukul 14.33 WIB.
http://serunaihati.blogspot.com/2013/02/biografi-abu-jafar-al-mansur-pendiri.html  di unduh pada 14/05/2016 pukul 14.33 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar